RUU Pengelolaan Kebudayaan Fasilitasi Dialog Antar Budaya
Makna kebudayaan sangat luas dan universal. Membincang kebudayaan tidak bisa sektoral. Ia melibatkan semua aspek. Ketika DPR hendak merancang RUU Pengelolaan Kebudayaan, maka RUU ini harus memfasilitasi dialog antarbudaya. Itulah yang sangat urgen.
Demikian mengemuka dalam acara Forum Legislasi yang membincangkan RUU Pengelolaan Kebudayaan di Press Room DPR, Senin (28/10). Hadir sebagai pembicara Anggota Komisi X DPR Dedi Suwandi Gumelar (F-PDI Perjuangan), budayawan Betawi Ridwan Saidi, dan Bambang Wibawarta peneliti sekaligus Wakil Rektor UI.
RUU ini ternyata sudah mengendap 10 tahun yang merupakan warisan dari DPR periode sebelumnya. Dedi Gumelar alias Miing, mengungkapkan, RUU ini sudah mengumpulkan dan membahas DIM. Diharapkan pada masa sidang yang akan datang sudah masuk ke Baleg DPR. Ironisnya, UU Cagar Budaya dan UU Perfilman malah sudah diundang lebih dulu. Padahal, kedua UU itu merupakan “anak sungai” dari induknya yang hingga kini belum diundangkan.
Banyak persoalan yang dibahas dalam pengelolaan kebudayaan. Dari mulai berkesenian hingga beprilaku masuk dalam konten RUU ini. Tujuannya tentu untuk kesejahteraan rakyat. Menurut Bambang Wibawarta, ada 4 aspek penting dalam membahas kebudayaan. Pertama, pengetahuan kebudayaan harus menjadi prilaku anak bangsa. Kedua, kebudayaan bisa dikaitkan dengan diplomasi. Ketiga, kebudayaan terkait pula dengan ekonomi. Dan keempat, kebudayaan sebagai pemersatu bangsa.
Saat ini kita kerap salah kaprah, kata Bambang. Makna kebudayaan dipersempit hanya sebatas berkesenian. Lihat buku-buku teks pelajaran di sekolah. Materi kebudayaan ternyata dimaknai dengan seni tari. Padahal bukan hanya itu. Kebudayaan sangat luas. Bagaimana dengan RUU ini nantinya bisa mengantar pada dialog antarbudaya di Tanah Air. Antarsuka dan adapt bisa disandingkan bukan dipertandingkan.
Kebudayaan ini bila tidak dikelola dengan baik, akan selalu terjadi benturan. Lihatlah konflik antaretnis begitu banyak terjadi. Sementara itu budayawan Ridwan Saidi, berpendapat, perkawinan adat adalah masalah budaya. Dia tak wajib dicatat di kantor catatan sipil, karena ini menyangkut tradisi yang sudah ribuan tahun ada di Indonesia. bila masih ada kewajiban pencatatan, berarti ada diskriminasi.
Ridwan menyambut baik tiga provinsi yang ternyata sudah punya Perda Kebudayaan, yaitu Aceh, Riau, dan Yogyakarta. Sebagai warga Betawi, ia kecewa Jakarta belum punya Perda tersebut. Padahal, itu sangat penting. Dan rumusan Perdanya sudah selesai dibahas di tingkat perancang, tinggal diajukan ke DPRD. Sayangnya, tidak ada tindak lanjut nasib rancangan Perda tersebut. (mh), foto : eka hindra/parle/hr.